Menjadi Mahasiswa: Berorganisasi atau Tidak?


Menjadi Mahasiswa: Berorganisasi atau Tidak?

Berorganisasi di kalangan mahasiswa mungkin saja menjadi hal yang selalu menarik diperbincangkan dulu, sekarang bahkan seterusnya. Tak ayal, melalui sejarah panjang pertumbuhan bangsa, mahasiswa tak luput, bahkan catatan sejarah menjadi saksi keterlibatan mahasiswa atas kontrolnya terhadap bangsa. Benar adanya, selain berada pada tingkat pendidikan paling atas, sebut saja pada tahap penyempurnaan intelektual, mahasiswa juga identic sebagai penyambung lidah masyarakat yang bertanggung jawab atas masalah-masalah sosial yang terjadi.

Kendati demikian dalam internal mahasiswa sendiri, berorganisasi  menjadi hal yang paradoks. Di satu sisi terdapat kelompok mahasiswa seolah menutup mata dengan hal itu, namun di sisi lainnya juga terdapat kelompok mahasiswa yang menjadikan organisasi sebagai langkah penting dengan goal-nya masing-masing. Pada kelompok pertama, bagi mereka mahasiswa yang berorganisasi dianggap menyiakan waktu, menguras tenaga, menghabiskan uang, ujungnya menjadi mahasiswa abadi. Semua itu bukan sangkaan belaka. Realitas yang terjadi memang benar, tidak sedikit dari mahasiswa yang berorganisasi terlambat dalam menyelesaikan kuliahnya. Begitu juga dengan kelompok kedua, mahasiswa yang tidak berorganisasi di cap sebagai mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang, kuliah pulang). Dampaknya, mahasiswa yang seperti ini menjadi apatis, kehilangan kritis dan hanya mementingkan diri sendiri serta jauh dari esensi sebagai mahasiswa.

Kedua kelompok di atas memiliki argument dengan logika linearnya masing-masing yang pada dasarnya sukar dibantah jika melihat realitas yang terjadi. Oleh sebab itu, tulisan ini tidak ingin mengintervensi lebih jauh pembaca untuk berorganisasi ataupun tidak, tetapi sebuah bentuk refleksi yang mengantarkan serta memberi pertimbangan apakah penting berorganisasi bagi mereka yang berstatus mahasiswa sekaligus memberi gambaran persoalan mendasar sebagai mahasiswa organisatoris. Melalui beberapa konsep serta pengalaman pribadi penulis turut memperkuat isi tulisan ini.

Mengenal Organisasi; Mencari Hakikat Mahasiswa

Hal pertama yang dialami ketika menjadi mahasiswa baru ialah sikap narsis, gaya, gengsi serta eksistensi sebagai mahasiswa. Langkahan kaki yang diiringi doa dan harapan seolah dengan gagah mengantarkan kita ke masa depan yang cerah. Meskipun pada saat itu tanpa sadar bahwa akan banyak menelusuri jalan panjang menuju masa depan cerah sebagaimana yang diharapkan. Yang ada hanya kebanggan telah menjadi mahasiswa, titik sampai di sana. Adanya perubahan ritme kehidupan yang dulu sebagai siswa dan sekarang telah menjadi mahasiswa, dulu memakai seragam sekarang berpakaian bebas serta perubahan lain yang menjadi kebanggan tersendiri bagi mereka. Hal ini mungkin saja dialami oleh hampir seluruh mahasiswa. Apalagi mahasiswa yang lahir di era digital saat ini. Swafoto serta membagikan apa yang dilakukan, apa yang dipikirkan dan apa yang dirasakan kepada orang lain kian menjamur. Media sosial dalam hal ini adalah wadah yang tepat dalam ­express-nya sebagai mahasiswa. Namun di balik semua itu tidak berbanding lurus dengan apa yang didapatkan di dunia kampus. Mereka malah mendapatkan tugas yang bertubi, keuangan menipis, menghadapi dosen killer, dan sebagainya. Lucunya, kondisi demikian juga di abadikan.

Lebih lanjut berjalannya waktu diikuti dengan tawaran berorganisasi oleh para senior dengan segala kemampuan lobinya sejenak tertanam makna menjadi mahasiswa sesungguhnya. Dengan kelihaian retorikanya terbesit dalam benak bahwa benar seorang mahasiswa memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Menjadi mahasiswa tidak hanya mengasah kemampuan intelektual bagi dirinya sendiri, lebih jauh daripada itu juga berperan aktif dan bertanggung jawab atas masalah sosial sebagaimana tadi disinggung. Lintasan kesadaran ini pada waktu yang sama bersaut-sautan dengan dampak negative yang dihadapi ketika berorganisasi. “sudahlah apa gunanya berorganisasi, toh mahasiswa yang tidak berorganisasi akhirnya juga banyak yang sukses dengan masa kuliahnya lebih santai, jika dibandingkan dengan mahasiswa yang berorganisasi yang sibuk ke sana ke mari.” Yaa walaupun bisikan ini pada akhirnya juga dikalahkan oleh doktrin yang diterima dari para senior.

Sampailah akhirnya bergabung organisasi dengan berbagai varian tujuann, termasuk mahasiswa yang bergabung hanya karena loby semata (dikarungkan). Ya terlepas dari itu, penempaan selama berdinamika dalam organisasi perlahan membentuk pola pikir sebagai mahasiswa pada hakikatnya. Narsisme sebagai fenomena mahasiswa awal mulai bergeser dengan apa yang disebut Kritis. Tentu kritis inipun juga dipertanyakan. Sebab kata kritis bersifat homonym. Bisa saja kritis ini diartikan sebagai pola pikir yang selalu mempertanyakan sesuatu dengan ketajaman analisisnya atau bisa juga dimaknai dengan kondisi yang gawat darurat. Nampaknya mahasiswa saat ini secara tidak sadar berada pada dua kategori itu, kalau tidak pada makna yang pertama berarti termasuk dalam makna kedua. Kita tidak tau apakah makna pertama benar-benar ada dalam diri manusia atau hanya bayangan semu belaka yang pada akhirnya terjerumus pada makna yang kedua.

Meskipun demikian angggap saja itu sebagai proses tahapan mencapai hakikat mahasiswa, andaikan tidak mengalami hal demikian tentu persoalan tersebut tidak akan dialami dengan proses yang selalu membawa pada perubahan. Proses inilah yang mengantarkan mahasiswa pada pola pikir dalam memahami esensi mahasiswa. Jika agama memberikan pilihan kepada manusia dalam menghadapi kemungkaran dengan mengubah secara langsung melalui tangannya, atau  melalui lisan atau hanya cukup mengingkari dalam hati dan pilihan terakhir adalah selemah-lemah iman, maka pada konteks mahasiswa sebaik-baik mahasiswa adalah mahasiswa akademis yang organisatoris baik internal maupun eksternal kampus, jika tidak sanggup, cukup menjadi mahasiswa akademis yang organisatoris secara internal, jika masih tidak sanggup cukup menjadi mahasiswa akademis saja, dan tentu itu adalah selemah-lemah “iman”.

Organisasi: Jalan Menuju Kesuksesan

Menjadi mahasiswa akademis pada dasarnya merupakan suatu keniscayaan, sebab tidaklah dikatakan mahasiswa jika tidak unggul dalam intelektual akademis, namun belum paripurna seorang mahasiswa jika tidak mengasah kecerdasan emotional dan kecerdasan spiritual. Kecerdasan intelektual hanya membentuk kepintaran individu tidak dengan kemampuan dalam interaksi sosial yang dikenal dengan kecerdasan emosional dan spiritual. Tentu dua aspek ini hanya didapatkan dengan berorganisasi. Ini tidak hanya mendukung terhadap kualitas seorang mahasiswa tapi juga akan berdampak terhadap kesuksesan/dunia kerja. Goleman menyebut kecerdasan intelektual hanya 10-20% dalam menyumbangkan kesuksesan, selebihnya 80-90% disumbangkan oleh aspek kecerdasan spiritual dan emosional (Goleman).[1]

Kendati secara teori menyebutkan demikian pada realitasnya dibantah dengan kondisi organisasi yang bertolak belakang dengan apa yang telah diteorikan, dan fenomena sebagian besar mahasiswa saat ini ialah tidak mendapatkan apa yang diinginkan melalui wadah organisasi tersebut. Ini menjadi persoalan utama di kalangan mahasiswa pasca berorganisasi. Banyak dari mereka tidak mendapatkan proses yang baik di karenakan persoalan degradasi internal organisasi sendiri. Selain itu tidak sedikit juga dari mahasiswa mengungkapkan penyesalan berorganisasi. Satu sisi pola pikir yang seperti ini tidak sepenuhnya disalahkan. Oleh sebab itu harus ada penggerak yang mengubah pola pikir tersebut. Jika ini berlanjut tentu akan menciptakan sikap pesimis anggota bahkan tidak menutup kemungkinan organisasi tidak lagi diminati mahasiswa.

Bertolak dari persoalan di atas, penulis mencoba memberi analogi bahwa jika persoalan degradasi di tubuh organisasi menjadi alasan menyesal memilih organisasi tersebut, lantas bagaimana dengan para pendiri yang kegelisahannya lebih besar melampaui hanya sebatas persoalan internal organisasi. Atau mengapa tidak keluar dari Islam (menyesal memilih Islam) ketika melihat masifnya gerakan fundamentalisme, radikalisme, bahkan ekstrimisme dalam tubuh Islam. Ini bukan soal anggapan telah salah dalam memilih organisasi tapi kesalahan terbesar itu ketika telah memilih namun tidak bertindak.



[1] Goleman, D, (2000), Kecerdasan Emosi : Mengapa Emotional Intelligence Lebih inggi Daripada IQ, Alih Bahasa : T. Hermay, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Belum ada Komentar untuk "Menjadi Mahasiswa: Berorganisasi atau Tidak?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel