Menuju Pro-eksistensi: Merawat Keberagaman

Keberagaman merupakan potensi alamiah yang diberikan Tuhan. Sebagai umatnya kita dituntut bukan untuk menjadikan yang beragam itu menjadi seragam, akan tetapi bagaimana merawat kebaragaman itu dengan saling kerja sama tanpa sikap acuh tak acuh pada kelompok lain.

Agama merupakan salah satu contoh keberagaman yang paling sensitif, sebab dilihat dari kasus konflik yang cenderung berawal dari agama. Pada dasarnya tidaklah adil jika kita hanya menjudge bahwa buruknya suatu agama hanya dengan merujuk pada segelintir oknum yang tidak bertanggung jawab terhadap agamanya. 

Namun di sudut pandang yang lain, persoalannya ialah jika ini kian menjamur tentu perilaku orang beragama menjadi cerminan dari agama itu sendiri. secara tidak langsung akan memberi citra negatif pada agama yang dianut.

Dalam wacana pluralisme terdapat bentuk tahap relasi masyarakat beragam. 

Tahap yang tampak agak awal dari proses itu ialah tahap ignorant artinya tahap di mana masing-masing pemeluk agama berjalan sendiri-sendiri tanpa menyebut-nyebut agama lain dan pemeluknya.

Tahap selanjutnya adalah tahap yang mungkin bisa disebut dengan istilah “eksklusif” artinya tahap di mana masing-masing pemeluk agama tahu bahwa ada agama lain dan pemeluknya, tetapi hanya sibuk dengan dirinya sendiri saja. Pemeluk agama yang satu tidak mau tahu tentang agama lain dan pemeluknya.

Tahap berikutnya ialah tahap apologetis. Dalam tahap ini masing-masing pemeluk agama mengetahui adanya agama lain dan pemeluknya. Mereka saling bertemu, tetapi tetap lebih banyak berusaha menonjolkan agama dan diri mereka sendiri dengan menekankan perbedaan atau kelebihan agama dan diri mereka dibanding dengan agama lain dan pemeluknya. Ada di antara mereka yang bersikap fanatik, memutlakkan agama mereka sendiri, bahkan berusaha melawan dan membinasakan agama lain dan pemeluknya. Tahap ini adalah tahap yang dirasa paling sarat dengan kekerasan, akrab dengan konflik dan memakan banyak korban jiwa, harta, kebudayaan lingkungan hidup bahkan bangsa dan negara.

Tahap yang berikutnya adalah tahap toleransi dan koeksistensi, di mana para pemeluk agama-agama itu bisa menerima kehadiran agama lain dan pemeluknya di samping diri mereka. Penerimaan itu memang tidak mencegah terjadinya pergaulan antarpemeluk agama tersebut, tapi utamanya hanya mengacu kepada eksistensi dan kelestariaan mereka masing-masing.

Pada tahap yang berikutnya itu para pemeluk agama-agama tidak sekedar hanya mau sama-sama hidup dan menunaikan tugas agamanya masing-masing tetapi juga secara sadar bergumul dengan masalah: sama-sama hidup untuk apa? Seumpama suatu keluarga besar yang tinggal dalam satu rumah,masing-masing pemeluk agama sadar bahwa mereka bukan hanya sama-sama hidup dan hanya mengurusi kamarnya sendiri-sendiri saja, melainkan juga harus mengurusi rumah bersama tempat tinggal keluarga besar itu. 

Mereka sadar bahwa hidup dan kelestarian mereka tidak ditentukan oleh baik tidaknya kamar tinggal mereka masing-masing melainkan oleh baik tidaknya rumah bersama mereka itu. Mereka ada bukan hanya untuk ada, melainkan untuk ada bersama-sama sebagai satu kesatuan dan keutuhan yang harus lestari. Tahap inilah yang di dalam suatu pertemuan internasional di Malang bulan Mei 1991 kami sebut dengan tahap pro-eksistensi.

Artinya tahap ini adalah tahap di mana para pemeluk agama masing-masing mengakui bahwa mereka dan agama mereka ada bukan hanya untuk diri masing-masing mereka sendiri atau untuk saling ada, melainkan untuk keberadaan dan kehidupan bersama. Tahap ini muncul juga karena kenyataan dan keyakinan bahwa dalam era globalisasi ini tidak ada satu pihak pun, termasuk pemeluk agama tertentu, yang bisa hidup sendiri, apalagi menyelesaikan semua masalah sendiri. Semua pihak saling bergantung dan keberadaan/kehidupan bersama sangat ditentukan oleh saling ketergantungan itu.

Oleh karena itu mereka mulai memperkembangkan penghayatan dan pemahaman tentang kesaling-ketergantungan itu demi keberadaan bersama, kehidupan bersama dan kelestariannya. Agama-agama dan para pemeluknya ada dan berkiprah demi pro-eksistensi. Kalau tidak, semua pihak akan berhenti ada dan cepat atau lambat mati, entah secara sendiri-sendiri dan atau bersama-sama. Kelestariaan kehidupan makin menjadi pokok utama yang dipertanggungjawabkan bersama.


 

Belum ada Komentar untuk "Menuju Pro-eksistensi: Merawat Keberagaman "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel